BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Penyakit ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan
kemiskinan dan hampir bisa dikatakan hanya menyerang mereka yang berasal dari
kaum termiskin serta masyarakat kesukuan yang terdapat di daerah-daerah
terpencil yang sulit dijangkau.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab
ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang
didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada mayoritas pasien,
penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja, namun dapat juga
mempengaruhi tulang bagian atas dan sendi. Walaupun hampir seluruh lesi
frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi bakteri sekunder dan bekas luka
merupakan komplikasi yang umum. Setelah 5 -10 tahun, 10 % dari pasien yang
tidak menerima pengobatan akan mengalami lesi yang merusak yang mampu
mempengaruhi tulang, tulang rawan, kulit, serta jaringan halus, yang akan
mengakibatkan disabilitas yang melumpuhkan serta stigma social.
Beban Penyakit Selama periode 1990 an, frambusia merupakan
permasalahan kesehatan masyarakat yang terdapat hanya di tiga negara di Asia
Tenggara, yaitu India, Indonesia dan Timor Leste. Berkat usaha yang gencar
dalam pemberantasan frambusia, tidak terdapat lagi laporan mengenai penyakit ini
sejak tahun 2004. Sebelumnya, penyakit ini dilaporkan terdapat di 49 distrik di
10 negara bagian dan pada umumnya didapati pada suku? suku didalam masyarakat.
India kini telah mendeklarasikan pemberantasan penyakit frambusia dengan
sasaran tidak adanya lagi laporan mengenai kasus baru dan membebaskan India
bebas dari penyakit ini sebelum tahun 2008. yaitu Zeroincidence + No sero
positive cases among < 5 children.
Di Indonesia, sebanyak 4.000 kasus tiap tahunnya dilaporkan
dari 8 dari 30 provinsi. 95 % dari keseluruhan jumlah kasus yang dilaporkan
tiap tahunnya dilaporkan dari empat provinsi :Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Tenggara, Papua dan Maluku. Pelaksanaan program pemberantasan penyakit ini
sempat tersendat pada tahun-tahun terakhir, terutama disebabkan oleh
keterbatasan sumber daya. Upaya-upaya harus diarahkan pada dukungan kebijakan
dan perhatian yang lebih besar sangat dibutuhkan demi pelaksanaan yang lebih
efektif dan memperkuat program ini.
Di Timor Leste, Frambusia dianggap penyakit endemic di 6 dari
13 distrik. Data yang dapat dipercaya tidak terdapat di negara ini. Pendekatan
yang terpadu sedang direncanakan, dengan mengkombinasikan pemberantasan
penyakit kaki gajah dan frambusia, serta pengontrolan cacing tanah. Sinergi
program semacam ini merupakan pendekatan utama yang harus didukung.
Frambusia dapat diberantas karena penyakit ini dapat
dideteksi dengan mudah oleh petugas kesehatan di klinik-klinik serta dapat
disembuhkan dengan satu kali penyuntikan penisilin aksi lama. Secara geografis,
penyakit ini hanya terbatas pada sebuah daerah yang terpencil dan terlokalisir
di tempat tersebut. Memperkenalkan pemberantasan frambusia dapat menjadi pintu
masuk untuk pemberian penanganan kesehatan primer ke dalam populasi yang
termarjinalkan secara social dan terisolasi secara geografis.
Secara histories, penggunaan strategi yang meliputi
pendeteksian kasus secara aktif dan penanganan tepat waktu dari kedua kasus ini
serta kontak dengan keluarga penderita terbukti dapat memberantas penyakit ini.
Pada akhirnya, pemberantasan frambusia dapat menurunkan angka kemiskinan dan
memberdayakan masyarakat tradisional sehingga Negara-negara mampu mencapai
Millenium Development Goals (MDGs) atau paling tidak mampu menyediakan akses ke
kondisi kesehatan dan sanitasi pada tingkat dasar. Berdasarkan
argument-argument ini, WHO telah mendeklarasikan bahwa pemberantasan frambusia
merupakan prioritas untuk daerah Asia Tenggara, dan hal ini dapat diwujudkan.
Untuk menjalankan misi pemberantasan penyakit ini, WHO telah
mempersiapkan kerangka kerja Regional Strategic Plan dan sebuah draft dokumen
pendukung untuk mobilitas sumber daya. Regional Strategic Plan 2006 -2010 telah
diselesaikan dalam sebuah pertemuan yang diadakan di Bali, Indonesia pada bulan
Juli 2006 dan kerangka kerja National Strategic Plan untuk Indonesia dan
Timor Leste telah dibuat.Dengan pendeklarasian pemberantasan frambusia di
India, Indonesia dan Timor Leste diharapkan meningkatkan upaya-upaya untuk
memberantas penyakit frambusia. Kedua negara ini akan membutuhkan dukungan
sumber daya dan teknis untuk memberantas penyakit frambusia sebelum tahun 2010.
Strategi-strategi untuk mencapai pemberantasan penyakit ini
meliputi pendeteksian kasus secara aktif di daerah- daerah yang terjangkiti
penyakit ini ; pengobatan yang tepat, serta pemberian penisilin dosis tunggal ;
pelatihan tenaga medis di daerah-daerah yang terjangkiti mengenai diagnosa,
penanganan, pencegahan, dan pengontrolan penyakit ini ; advokasi dan kampanye
IEC guna menciptakan kesadaran masyarakat dan dukungan administrative, program
pemantauan regular, dan peningkatan kerja sama.
Guna mencapai tujuan pemberantasan ini, kedua negara ini
membutuhkan komitmen politik dan dukungan kebijaksanaan, pengerahan sumber daya
yang memadai, dan peningkatan dukungan teknis untuk memperkuat program ini,
serta pelaksanaan strategi dan yang berkesinambungan dan dinamis.
1.2 Perumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dari penyakit Frambusia?
2.
Bagaimana etiologi dari penyakit Frambusia?
3.
Bagaimana patofisiologi dari penyakit Frambusia?
4.
Bagaimana tanda dan gejala klinis dari penyakit
Frambusia?
5.
Bagaimana cara penularan dari penyakit Frambusia?
6.
Bagaimana stadium dari penyakit Frambusia?
7.
Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari penyakit
Frambusia?
8.
Bagaimana pengobatan dari penyakit
Frambusia?
9.
Bagaimana pencegahan dan pemberantasan dari penyakit
Frambusia?
10.
Bagaimana asuhan keperawatan dari penyakit Frambusia?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari penyakit Frambusia.
2.
Untuk mengetahui etiologi dari penyakit Frambusia.
3.
Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit
Frambusia.
4.
Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit
Frambusia.
5.
Untuk mengetahui cara penularan dari penyakit
Frambusia.
6.
Untuk mengetahui stadium dari penyakit Frambusia.
7.
Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari penyakit
Frambusia.
8.
Untuk mengetahui pengobatan dari penyakit Frambusia.
9.
Untuk mengetahui pencegahan dan pemberantasan dari
penyakit Frambusia.
10.
Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari penyakit
Frambusia.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAMBUSIA
2.1
Pengertian
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan
oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara
dari Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan
seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit
penderita dengan kulit sehat.
Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis
dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan
banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya
fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas
kesehatan umum yang memadai.
2.2
Etiologi
Frambusia, yang
disebabkan oleh Treponema pertenue, adalah penyakit menular bukan seksual pada
manusia yang pada umumnya menyerang anak-anak berusia di bawah 15 tahun.
Penyakit ini terutama menyerang kulit dan tulang serta banyak didapati pada
masyarakat miskin, pedesaan dan marjinal di beberapa bagian Afrika, Asia dan
Amerika Selatan, dimana kepadatan penduduk, kekurangan persediaan air, dan
keadaan sanitasi serta kebersihan yang buruk terdapat di mana-mana.
Jadi, penyakit ini
merupakan penyakit yang berkaitan dengan kemiskinan dan hampir bisa dikatakan
hanya menyerang mereka yang berasal dari kaum termiskin serta masyarakat
kesukuan yang terdapat di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau. Bisa
dikatakan bahwa “penyakit frambusia bermula dimana jalan berakhir”.
2.3
Patofisiologi
Pada awalnya, koreng
yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan melalui kontak dari kulit ke
kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui benturan, gigitan,
maupun pengelupasan. Pada mayoritas pasien, penyakit frambusia terbatas
hanya pada kulit saja, namun dapat juga mempengaruhi tulang bagian atas dan
sendi. Walaupun hamper seluruh lesi frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi
bakteri sekunder dan bekas luka merupakan komplikasi yang umum. Setelah 5 – 10
tahun, 10 % dari pasien yang tidak menerima pengobatan akan mengalami lesi yang
merusak yang mampu mempengaruhi tulang, tulang rawan, kulit, serta jaringan
halus, yang akan mengakibatkan disabilitas yang melumpuhkan serta stigma
social.
Noordhoek, et al, (1990) mengatakan bahwa terdapat infeksi
alamiah yang disebabkan oleh Treponema pallidum terhadap inang (manusia)
ditularkan melalui hubungan seksual dan infeksi lesi langsung pada kulit atau
membran selaput lendir pada genetalia. Pada 10–20 kasus lesi primer merupakan
intrarektal, perianal atau oral atau di seluruh anggota tubuh dan dapat
menembus membran selaput lendir atau masuk melalui jaringan epidermis yang
rusak.
Spirocheta secara lokal berkembang biak pada daerah pintu
masuk dan beberapa menyebar di dekat nodul getah bening mungkin mencapai aliran
darah. Dua hingga 10 minggu setelah infeksi, papul berkembang di daerah infeksi
dan memecah belah membentuk ulcer yang bersih dan keras (chancre). Inflamasi
ditandai dengan limfosit dan plasma sel yang membuat ruang berupa maculapapular
merah di seluruh tubuh, termasuk tangan, kaki dan papul yang lembab, pucat
(condylomas) di daerah anogenital, axila dan mulut. (Djuanda, et al., 2007)
Lesi primer dan sekunder ini sangat infeksius karena
mengandung banyak spirocheta. Lesi yang infeksius mungkin akan kambuh dalam
waktu 3–5 tahun. Infeksi sifilis tetap subklinis dan pasien akan melewati tahap
primer dan sekunder tanpa gejala atau tanda-tanda berkembangnya lesi tersier.
Pada pasien dengan infeksi laten penyakit akan berkembang ketahap tersier
ditandai dengan perkembangan lesi granulommatous (gummas) pada kulit, tulang
dan hati; lesi cardiovaskuler (aortitis, aortic aneurysm, aortic value
insuffiency). lesi tertier treponema jarang ditemua dan respon jaringan yang
meningkat ditandai dengan adanya hypersensitivitas organisme. Treponema yang
menahum dan atau laten terkadang infeksi dimata atau sistem saraf pusat
(Noordhoek, et al, 1990; Bahmer, et al, 1990)
Pada subspecies perteneu infeksi terjadi akibat adanya
kontak berulang antar individu dalam waktu tertentu sehingga memudahkan
treponema untuk berkembang biak, infeksi bakteri treponema ssp.parteneu
berbentuk spirochetes tersebut ada dijaringan epidermis mudah menular di
jaringan kulit lecet atau trauma terbuka. Klasifikasi Frambusia terdiri dari 4
(empat) tahap meliputi pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk
berkembangnya bakteri frambusia; secondary stage terjadi lesi infeksi bakteri
treponema pada kulit; latent stage bakteri relaps atau gejala hampir tidak ada;
tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan, (Smith, 2006 ;
Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al., 2005).
2.4
Tanda dan Gejala
Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer
pada kulit berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki,
lesi ini tidak sakit dan bertahan sampai berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang khas berbentuk buah
frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut
dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang
terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 persen dari penderita yang tidak
diobati akan cacat.
Penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan
akan menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat
seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai
dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
Penyakit fambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah,
otak dan saraf dan tidak ada frambusia kongenital, namun daerah endemis pada
musim hujan penderita baru akan bertambah. Gejala klinis terdiri atas 3 stadium
pertama pada tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma; masa tunas
berkisar antara 3-6 minggu. Kelainan papul yang eritematosa, menjadi besar
berupa ulkus dengan dasar papilomatosa. Jaringan granulasi banyak mengeluarkan
serum bercampur darah yang mengandung treponema. Serum mengering menjadi krusta
berwarna kuning-kehijauan, pembesaran kelenjar limfe regional konsistensi keras
dan tidak nyeri. Stadium satu dapat menetap beberapa bulan kemudian sembuh
sendiri dengan meninggalkan sikatriks yang cekung dan atrofik. Stadium kedua;
dapat timbul setelah stadium pertama sembuh atau sering terjadi tumpang tindih
antara stadium satu dan stadium dua (overlapping). (Djuanda, et al., 2007).
Erupsi yang generalisata timbul pada 3 – 12 bulan setelah
penyakit berlangsung. Kelainannya berkelompok, tempat predileksi di sekeliling
lubang badan, muka dan lipatan-lipatan tubuh. Papul-papul yang milliar menjadi
lentikular dapat tersusun korimbiform, arsinar atau numular. Kelainan ini
membasah, berkrusta dan banyak mengandung treponema. Pada telapak kaki dapat
terjadi keratoderma jalannya seperti kepiting karena nyeri tulang ekstremitas
atas dan bawah, spina ventosa pada jari anak-anak, polidaktilitis, sinar
rontgen tampak rarefaction pada korteks dan destruksi pada perios, (Jawetz, et
al., 2005).
Pada stadium lanjut sifatnya destruktif menyerang kulit,
tulang dan persendian meliputi nodus dan guma, keratoderma pada telapak kaki
dan tangan, gangosa dan goundou; menurut Djuanda, et al., (2007) pada fase
lanjut ini beberapa istilah pada frambusia stadium lanjut : nodus dapat
melunak, pecah menjadi ulkus, dapat sembuh di tengah luka dan meluas ke
perifer; guma umumnya terdapat pada tungkai. Mulai dengan nodus yang tidak
nyeri, keras, dapat digerakan, kemudian melunak, memecah dan meninggalkan ulkus
yang curam (punched out), dapat mendalam sampai ke tulang atau sendi
mengakibatkan ankilosis dan deformitas; gangosa: mutilasi pada fosa nasalis,
palatum mole hingga membentuk sebuah lubang suaranya khas sengau; goundou : eksositosis
tulang hidung dan di sekitarnya, pada sebelah kanan–kiri batang hidung yang
membesar; bisa disertai demam; tulang : berupa periostitis dan osteitis pada
tibia, ulna, metatarsal dan metakarpal, tibia berbentuk seperti pedang, kiste
di tulang mengakibatkan fraktur spontan.
2.5
Cara Penularan
Penularan penyakit
frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Depkes,2005),
yaitu :
1)
Penularan secara langsung (direct contact)
Penularan penyakit frambusia banyak
terjadi secara langsung dari penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi
jika jejas dengan gejala menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat
pada kulit seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada
lukanya. Penularan mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara jejas dengan
gejala menular dengan selaput lendir.
2)
Penularan secara tidak langsung (indirect contact)
Penularan secara tidak langsung
mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini
sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan
kulit (selaput lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas
itu masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut.
Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue
dapat mengalami 2 kemungkinan:
a)
Infeksi
effective
Infeksi ini terjadi jika Treponema
pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan
menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika
Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya
dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.
b)
Infeksi
ineffective
Infeksi ini terjadi jika Treponema
pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian
mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat
terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen
dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan
terhadap penyakit frambusia (Depkes, 2005).
Penularan penyakit frambusia pada
umumnya terjadi secara langsung sedangkan penularan secara tidak langsung
sangat jarang terjadi (FKUI, 1988).
2.6
Stadium
Frambusia umumnya menyerang anak-anak berusia dibawah 15
tahun. Rata-rata terjadi antara usia 6 – 10 tahun. Jenis kelamin tertentu tidak
terkait dengan penyakit ini. Terdapat 3 stadium frambusia yang dikenal, yakni :
1) Stadium Primer
Setelah masa inkubasi antara 9-90
hari (rata-rata 3 minggu), lesi primer atau induk frambusia berkembang pada
sisi yang terkena penularan berupa gigitan, goresan dan gesekan dengan kulit
yang terkena frambusia. Umumnya terjadi di daerah anggota gerak (lengan dan
kaki). Lesi berwarna kemerahan, tidak nyeri dan kadang-kadang gatal-gatal
berbentol/kutil (papul). Papul-papul tersebut akan meluas dengan diameter 1-5
cm untuk kemudian menjadi ulkus (luka terbuka) dengan dasar berwarna kemerahan
seperti buah berry. Lesi-lesi satelit bisa bersatu membentuk plak. Karena
jumlah treponema yang banyak, maka lesi tersebut sangat menular. Pembesaran
kelenjar limfa, demam serta rasa nyeri merupakan tanda dari stadium ini. Induk
frambusia akan pecah dalam 2-9 bulan yang meninggalkan bekas dengan bagian
tengah yang bersifat hipopigmentasi.
2) Stadium Sekunder
Sekitar 6-16 minggu setelah stadium
primer. Lesi kulit atau lesi anakan yang menyerupai lesi induk tapi berukuran
lebih kecil yang biasanya ditemukan dipermukaan tubuh dan sebagian di rongga
mulut atau hidung. Lesi anakan ini akan meluas, membentuk ulkus dan
menghasilkan cairan-cairan fibrin yang berisi treponema, yang kemudia mengering
menjadi krusta. Cairan tersebut menarik lalat-lalat untuk hinggap dan kemudian menyebarkannya
ke orang lain. Kadang-kadang bentuk serupa infeksi jamur dapat terlihat.
Kondisi ini diakibatkan proses penyembuhan inti dari papiloma atau gabungan
dari lesi yang membentuk bundaran. Lesi di aksila atau di lipat paha menyerupai
condylomatalata. Papil-papil di telapak kaki berberntuk tipis, hiperkeratosis
yang akan menjadi erosi. Rasa nyeri menandai stadium ini.
3) Stadium Tersier
Pada stadium ini, sekitar 10% kasus
setelah 5-15 tahun akan kembali kambuh, yang ditandai dengan lesi kulit yang
destruktif, lesi pada tulang dengan kemungkinan terkenanya jaringan saraf dan
penglihatan penderita. Bertambahnya ukuran, tidak nyeri, perkembangan
nodul-nodul dibawah kulit dengan penampakan nanah nekrosis dan ulkus. Ulkus
tersebut terinfeksi karena rusaknya struktur kulit dibawahnya. Bentuk
hiperkeratosis dan keratoderma pada telapak tangan dan kaki sangat jelas
terlihat. Stadium ini dapat menyerang tulang dan persendian. Infeksi tulang
(osteitis) yang terutama menyerang tulang kaki dan tangan. Infeksi ini apabila
tidak terkendali akan menyebabkan hancurnya struktur tulang, dan berakhir
dengan kecacatan dan kelumpuhan.
2.7
Pemeriksaan
Diagnostik
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
treponema, VDRL, TPHA, dan pada keadaan tertentu, diperlukan pemeriksaan
patologi. Mikroskop pandangan gelap, pada fase dini, diperlukan untuk
pemeriksaan treponema. Dapat pula diaplikasikan pengecatan giemsa, Ziel-Nelson
atauu tinta Hindia untuk pemeriksaan Burry.
Menurut Noordhoek, et al, (1990)
diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau
pemeriksaan mikroskopik langsung FA (Flourescent Antibody) dari eksudat
yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk
sifilis misalnya VDRL (venereal disease research laboratory), RPR (rapid
plasma reagin) reaktif pada stadium awal penyakit menjadi non reaktif
setelah beberapa tahun kemudian, walaupun tanpa terapi yang spesifik, dalam
beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus reaktif pada titer
rendah seumur hidup. Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent
trepanomal antibody – absorbed), MHA-TP (microhemag-glutination assay
for antibody to t. pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup.
2.8
Pengobatan
Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2,4 juta unit untuk
orang dewasa dan untuk 1,2 juta unit anak-anak. Hingga saat ini, penisilin
merupakan obat pilihan, tetapi bagi mereka yang peka dapat diberikan
tetrasiklin atau eritromisin 2 gr/hari selama 5 – 10 hari.
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa
pilihan pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama,
alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline
dan eritromisin. Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah
sebagai berikut :
1)
Bila
sero positif > 50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun > 5 %
maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.
2)
Bila
sero positif 10 – 50 % atau prevalensi penderita di suatu desa 2 – 5 % maka
penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan pengobatan.
3)
Bila
sero positif kurang 10 % atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun < 2 %
maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan.
4)
Untuk
anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan seluruh murid dalam
kelas yang sama. Dosis dan cara pengobatan sbb :
Tabel 1. Dosis dan Cara Pengobatan
Frambusia
Pilihan utama
|
||||
Umur
|
Nama obat
|
Dosis
|
Pemberian
|
Lama pemberian
|
10 thn
|
Benz.penisilin
|
600.000 IU
|
IM
|
Dosis Tunggal
|
≥ 10 tahun
|
Benz.penisilin
|
1.200.000 IU
|
IM
|
Dosis Tunggal
|
Alternatif
|
||||
< 8 tahun
|
Eritromisin
|
30 mg/kgBB bagi 4 dosis
|
Oral
|
15 hari
|
8-15 tahun
|
Tetra atau erit.
|
250mg, 4×1 hri
|
Oral
|
15 hari
|
>8 tahun
|
Doxiciclin
|
2-5 mg/kgBB bagi 4 dosis
|
Oral
|
15 hari
|
Dewasa
|
|
100mg 2 × 1 hari
|
Oral
|
15 hari
|
Keterangan :
Tetrasiklin
atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia yang alergi terhadap
penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui atau
anak dibawah umur 8 tahun.
|
2.9 Pencegahan dan Pemberantasan
Frambusia bila tidak segera ditangani akan menjadi penyakit
kronik, yang bisa kambuh dan menumbulkan gejala pada kulit, tulang dan
persendian. Pada 10 % kasus pasien stadium tersier, terjadi lesi kulit yang
destruktif dan memburuk menjadi lesi pada tulang dan persendian. Kemungkinan
kambuh dapat terjadi lebih dari 5 tahun setelah terkena infeksi pertama.
1)
Upaya
Pencegahan
Upaya-upaya pencegahan dan
pemberantasan yang dapat dilakukan adalah :
a)
Lakukanlah
upaya promosi kesehatan umum, berikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat
tentang treponematosis, jelaskan kepada masyarakat untuk memahami pentingnya
menjaga kebersihan perorangan dan sanitasi-sanitasi yang baik, termasuk
penggunaan air dan sabun yang cukup dan pentingnya untuk meningkatkan kondisi
sosial ekonomi dalam jangka waktu panjang untuk mengurangi angka kejadian.
b)
Mengorganisir
masyarakat dengan cara yang tepat untuk ikut serta dalam upaya pemberantasan
dengan memperhatikan hal-hal yang spesifik di wilayah tersebut. Periksalah
seluruh anggota masyarakat dan obati penderita dengan gejala aktif atau laten.
Pengobatan kontak yang asimptomatis perlu dilakukan dan pengobatan terhadap
seluruh populasi perlu dilakukan jika prevalensi penderita dengan gejala aktif
lebih dari 10%. Survei klinis secara rutin dan surveilans yang berkesinambungan
merupakan kunci sukses upaya pemberantasan.
c)
Survey
serologis untuk penderita laten perlu dilakukan terutama pada anak-anak untuk
mencegah terjadinya relaps dan timbulnya lesi infektif yang menyebabkan
penularan penyakit pada komunitas tetap berlangsung.
d)
Menyediakan
fasilitas pelayanan kesehatan yang mamadai untuk dapat melakukan diagnosa dini
dan pengobatan dini sebagai bagian dari rencana kampanye pemberantasan di
masyarakat (lihat butir 9A2 di atas). Hendaknya fasilitas diagnosa dan
pengobatan dini terhadap frambusia ini merupakan bagian yang terintegrasi b
pada fasilitas pelayanan kesehatan setempat yang permanen.
e)
Lakukan
penanganan terhadap penderita cacat dan penderita dengan gejala lanjut.
2)
Pengawasan
Penderita, Kontak, dan Lingkungan Sekitarnya
a)
Laporan
kepada instansi kesehatan yang berwenang : Di daerah endemis tertentu
dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus dilaporkan, kelas 3B (lihat
laporan tentang penularan penyakit) membedakan treponematosis venereal dan non
venereal dengan memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal
yang penting untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye
pemberantasan di masyarakat dan penting untuk konsolidasi penanggulangan pada
periode selanjutnya.
b)
Isolasi
: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi lingkungan
sampai luka sembuh.
c)
Disinfeksi
serentak : bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan discharge dan
buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
d)
Karantina:
Tidak perlu.
e)
Imunisasi
terhadap kontak : Tidak perlu.
f)
Investigasi
terhadap kontak dan sumber infeksi : Seluruh orang yang kontak dengan penderita
harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan gejala aktif
diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan prevalensi rendah,
obati semua penderita dengan gejala aktif dan semua anak-anak serta setiap
orang yang kontak dengan sumber infeksi.
g)
Pengobatan
spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan gejala aktif dan
terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal benzathine penicillin G
(Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk penderita usia dibawah 10
tahun.
3)
Upaya
Penanggulangan Wabah
Lakukan program pengobatan aktif
untuk masyarakat di daerah dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program
ini adalah :
a)
Pemeriksaan
terhadap sebagian besar penduduk dengan survei lapangan.
b)
Pengobatan
terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan kelompok masyarakat
sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi frambusia aktif.
c)
Lakukan
survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian integral
dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan disuatu negara.
2.10
Asuhan keperawatan
Tabel 2. Asuhan
keperawatan Klien dengan Frambusia
No.
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan
|
Perencanaan Keperawatan
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
|||
1
|
Kerusakan Integritas Kulit b/d
Adanya Lesi
|
Untuk memelihara integritas kulit/mencapai
penyembuhan tepat waktu
|
Ø Kaji kulit setiap hari. Catat
warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi. Amati perubahan lesi
Ø Pertahankan hygiene kulit.
Misalnya dengan membasuh dan mengeringkannya dengan hati-hati dan melakukan
masase dengan menggunakan lotion atau krim
Ø Gunting kuku secara teratur
Ø Kolaborasi pemberian obat topical
atau sistemik
Ø Kolaborasi pemberian salep antibiotik
untuk melindungi lesi
|
Ø Menentukan garis dasar dimana
terjadi perubahan pada status
Ø Masase meningkatkan sirkulasi
kulit dan menambah kenyamanan
Ø Kuku yang panjang / kasar
menimbulkan resiko kerusakan kulit
Ø Digunakan pada perawatan lesi
kulit
Ø Melindungi area dari kontaminasi
bakteri dan meningkatkan penyembuhan
|
2
|
Gangguan Mobilisasi b/d Kecacatan
|
Mobilisasi fisik terpenuhi,
|
Ø Kaji ketidakmampuan bergerak klien
yang diakibatkan oleh prosedur pengobatan dan catat persepsi klien terhadap immobilisasi.
Ø Tingkatkan ambulasi klien seperti
mengajarkan menggunakan tongkat dan kursi roda.
Ø Ganti posisi klien setiap 3 – 4
jam secara periodic.
Ø Bantu klien mengganti posisi dari
tidur ke duduk dan turun dari tempat tidur.
|
Ø Dengan mengetahui derajat
ketidakmampuan bergerak klien dan persepsi klien terhadap immobilisasi akan
dapat menemukan aktivitas mana saja yang perlu dilakukan.
Ø Dengan ambulasi demikian klien
dapat mengenal dan menggunakan alat-alat yang perlu digunakan oleh klien dan
juga untuk memenuhi aktivitas klien
Ø Pergantian posisi setiap 3 – 4 jam
dapat mencegah terjadinya kontraktur.
Ø Membantu klien untuk meningkatkan
kemampuan dalam duduk dan turun dari tempat tidur.
|
3
|
Gangguan Citra Tubuh b/d Perubahan
Postur Tubuh
|
Pasien dapat mengembangkan
peningkatan penerimaan diri
|
Ø Kaji adanya gangguan pada citra
diri pasien (menghindari kontak mata, ucapan yang merendahkan diri sendiri,
ekspresi perasaan muak pada kondisi kulit
Ø Berikan kesempatan untuk pasien
mengungkapkan. Dengarkan dengan cara yang terbuka dan tidak menghakimi untuk
mengekspresikan berduka atau ansietas tentang perubahan citra tubuh
Ø Bersikap realistis selama
pengobatan, pada penyuluhan kesehatan
Ø Jangan memberikan keyakinan yang
salah
Ø Dorong interaksi keluarga dan
dengan rehabilitasi
|
Ø Gangguan citra diri akan menyertai
setiap penyakit atau keadaan byata bagi pasien. Kesan seseorang terhadap
dirinya sendiri akan berpengaruh pada dirinya sendiri
Ø Pasien membutuhkan pengalaman
didengarkan dan dipahami. Mendukung upaya pasien untuk memperbaiki citra diri
Ø Meningkatkan kepercayaan dan
mengadakan hubungan antara pasien dengan perawat
Ø Meningkatkan perilaku positif dan
memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan
berdasarkan realita
Ø Mempertahankan pola komunikasi dan
memberikan dukungan terus-menerus pada pasien dan keluarga
|
4
|
Resiko Terjadi Infeksi b/d Kerusakan Pada
Kulit, Pertahanan Tubuh Menurun
|
· Mencapai penyembuhan tepat waktu,
tanpa komplikasi
|
Ø Ukur tanda-tanda vital termasuk
suhu
Ø Tekankan pentingnya tekhnik
mencuci tangan yang baik untuk semua individu yang kontak dengan pasien
Ø Gunakan sapu tangan, masker dan
tekhnik aseptic selama perawatan dan berikan pakaian yang steril atau baru
Ø Observasi lesi secara periodic
Ø Berikan lingkungan yang bersih dan
berventilasi baik. Periksa pengunjung atau staf terhadap tanda infeksi dan
pertahankan kewaspadaan sesuai indikasi
Ø Kolaborasi pemberian preparat
antibiotic dengan dokter
|
Ø Memberikan informasi data dasar.
Peningkatan suhu secara berulang-ulang dari demam yang terjadi untuk
menunjukkan pada tubuh bereaksi pada proses infeksi yang baru.
Ø Mencegah kontaminasi silang,
menurunkan resikoinfeksi
Ø Mencegah terpajan pada organism
infeksius
Ø Untuk mengetahui perubahan respon terhadap
terapi
Ø Mengurangi pathogen pada system
integument dan mengurangi kemungkinan pasien mengalami infeksi nosocomial
Ø Membunuh atau mencegah pertumbuhan
mikroorganisme penyebab infeksi
|
5
|
· Ansietas
b/d Perubahan Kesehatan
|
Pasien dapat menunjukkan penurunan
ansietas sehingga dapat menerima perubahan status kesehatannnya dengan cara
sehat
|
Ø Berikan penjelasan yang sering dan
informasi tentang prosedur perawatan
Ø Libatkan pasien atau orang yang
terdekat dalam proses pengambilan keputusan
Ø Kaji status mental terhadap
penyakit
Ø Berikan orientasi konstan dan
konsisten
Ø Dorong pasien untuk bicara tentang
penyakitnya
Ø Jelaskan pada pasien apa yang
terjadi.Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka atau
jujur
Ø Identifikasi metode koping atau
penangan siuasi stress sebelumnya
Ø Dorong keluarga dan orang yang
terdekat untuk mengunjungi dan mendiskusikan yang terjadi pada keluarga. Mengingatkan
pasien kejadian masa lalu dan akan dating
Ø Kolaborasi sedative ringan sesuai
indikasi
|
Ø Pengetahuan diharapkan menurunkan
ketakutan dan ansietas, dan memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan
kerja sama
Ø Meningkatkan rasa control dan
kerja sama, menurunkan perasaan tak berdaya atau putus asa
Ø Pada awalnya pasien dapat menggunakan
penyangkalan untuk meurunkan dan menyaring informasi secara keseluruhan
Ø Membantu pasien tetap berhubungan
dengan lingkungan dan realitas
Ø Pasien perlu membicarakan apa yang
terjadi terus-menerus untuk membantu beberapa rasa terhadap situasi apa yang
menakutkan
Ø Pernyataan kompensasi menujukkan
realitas situasi yang dapat membantu pasien atau orang yang terdekat menerima
realita dan mulai menerima apa yang terjadi
Ø Perilaku masa lalu yang berhasil
dapat digunakan untuk membantu situasi saat ini
Ø Mempertahankan kontak dengan
realitas keluarga, membuat rasa kedekatan dan kesinambunga hidup
Ø Obat ansietas diperlukan untuk
periode singkat sampai pasien lebih stabil secara psikis
|
6
|
· Kurang Pengetahuan b/d Kurang
Informasi Terhadap Perawatan Kulit
|
Pasien mendapatkan informasi yang
adekuat tentang perawatan kulit
|
Ø Tentukan apakah pasien mengetahui
tentang kondisi dirinya
Ø Pantau agar pasien mendapatkan
informasi yang benar, memperbaiki kesalahan persepsi informasi
Ø Berikan informasi yang spesifik dalam
bentuk tulisan
Ø Jelaskan penatalaksanaan minum
obat: dosis, frekuensi, tindakan, dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama
Ø Dorong pasien agar mendapat status
nutrisi yang sehat
Ø Tekankan perlunya atau pentingnya
mengevaluasi perawatan atau rehabilitasi
|
Ø Memberikan data dasar untuk
mengembangkan rencana penyuluhan
Ø Pasien harus memiliki perasaan bahwa
ada sesuatu yang dapat diperbuat
Ø Informasi tertulis dapat membantu
mengingatkan pasien
Ø Meningkatkan partisipasi pasien, memahami
aturan terapi dan mencegah putus obat
Ø Penampakkan kulit mencerminkan
kesehatan umum seseorang. Perubahan kulit dapat menandakan status
nutrisi yang abnormal. Nutrisi yang optimal meningkatkan regenerasi jaringan
dan penyembuhan umum kesehatan
Ø Dukungan jangka panjang dengan
evaluasi ulang continue dan perubahan terapi dibutuhkan untuk penyembuhan
optimal
|
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Frambusia
merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub
spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit
sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah
tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat.
Frambusia,
yang disebabkan oleh Treponema pertenue, adalah penyakit menular bukan seksual
pada manusia yang pada umumnya menyerang anak-anak berusia di bawah 15 tahun.
Penyakit
frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil
(papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak sakit dan
bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Pada
awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan melalui kontak
dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui benturan,
gigitan, maupun pengelupasan.
Penyakit
fambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan saraf dan tidak ada
frambusia kongenital, namun daerah endemis pada musim hujan penderita baru akan
bertambah. Gejala klinis terdiri atas 3 stadium pertama pada tungkai bawah
sebagai tempat yang mudah trauma; masa tunas berkisar antara 3-6 minggu.
Penularan penyakit
frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue
dapat mengalami 2 kemungkinan yaitu Infeksi effective dan Infeksi
ineffective. Terdapat 3
stadium Frambusia yang dikenal, yakni : Stadium
Primer, Stadium Sekunder, dan Stadium Tersier.
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik
langsung FA (Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi primer
atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL
(venereal disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin). Test
serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent trepanomal antibody –
absorbed), MHA-TP (microhemag-glutination assay for antibody to t. pallidum).
Pilihan pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan
dosis yang sama, alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian
Tetrasiklin, Doxicicline, dan Eritromisin.
Pencegahan dan Pemberantasan penyakit Frambusia dapat
dilakukan dengan cara yaitu : Upaya Pencegahan; Pengawasan Penderita, Kontak,
dan Lingkungan Sekitarnya; dan Upaya Penanggulangan Wabah.
Diagnosa
Keperawatan yang sering muncul pada penyakit Frambusia adalah Kerusakan integritas kulit b/d
adanya lesi, Resiko terjadi infeksi b/d kerusakan pada kulit,
pertahanan tubuh menurun, Gangguan
mobilisasi b/d kecacatan, Gangguan citra tubuh b/d perubahan postur
tubuh, Ansietas
b/d perubahan kesehatan, dan Kurang
pengetahuan b/d kurang informasi terhadap perawatan kulit.
3.2 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan kita
harus mengetahui tentang penyakit Frambusia. Hal ini ditujukan apabila mahasiswa menemukan kasus Frambusia di lingkungannya, agar dapat
melakukan tindakan lebih awal pada klien dengan Frambusia. Selain itu, rencana asuhan keperawatan pada
klien dengan Frambusia sangat penting dipelajari mahasiswa agar dapat membuat rencana asuhan
keperawatan tentang Frambusia dan merawat klien jika berhadapan langsung pada klien dengan Frambusia.
Berikut
ini ada beberapa hal penting dalam strategi pemberantasan Penyakit Frambusia yang
terdiri dari 4 hal pokok, yaitu :
1.
Skrining
terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan
penderita.
2.
Memberikan
pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK) dan
dilakukan pencarian kontak.
3.
Penyuluhan
kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
4.
Perbaikan
kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta
penyediaan sabun untuk mandi.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar